Sabtu, 20 September 2014

Garuda Indonesia

Pesawat Garuda Indonesia



Garuda Indonesia (PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk) adalah maskapai penerbangan nasional Indonesia. Garuda adalah nama burung tunggangan Dewa Wisnu dalam legenda pewayangan. Pada tahun 2007, maskapai ini bersama dengan maskapai Indonesia lainnya, dilarang terbang menuju Eropa karena kejadian yang menimpa Garuda Indonesia Penerbangan 200.[1]. Setahun kemudian, maskapai ini menerima sertifikasi IATA Operational Safety Audit (IOSA) dari IATA yang menunjukkan Garuda Indonesia telah memenuhi standar keselamatan penerbangan Internasional[2] Pada 1 Juni 2010, Garuda Indonesia melakukan pembukaan kembali rute Amsterdam yang di tutup pada tahun 2004 dengan pesawat Airbus A330-200 dengan kapasitas sebanyak 222 penumpang dengan perhentian di Dubai, Uni Emirat Arab. Hal ini menunjukkan Garuda Indonesia mulai tertarik dalam membuka rute ke Eropa. Pada tahun 2010, Garuda mendapatkan penghargaan dari Skytrax yaitu " World's Most Improved Airline" atas langkah Garuda yang dipimpin oleh Emirsyah Satar dalam merombak maskapai nasional tersebut.[3]. Pada tahun 2013, Garuda Indonesia mendapat penghargaan dari Skytrax yaitu "World Best Economy Class" dan "World Best Economy Class Seat".
Pada tanggal 5 Maret 2014, Garuda Indonesia bergabung dengan aliansi SkyTeam sebagai anggota yang ke 20 dan berlangsung di Denpasar, Bali.[4] Garuda telah menandatangani perjanjian kerjasama dengan Liverpool FC Inggris dan kini merupakan sponsor global untuk Liverpool FC.[5] Pada tanggal 30 Mei 2014, Garuda Indonesia melayani rute ke Amsterdam dengan nonstop menggunakan Boeing 777-300ER yang memiliki kabin terbaru dari semua armada, dan pada tanggal 8 September 2014, Garuda Indonesia membuka kembali rute Eropa kedua mereka yaitu London dengan armada yang sempat digunakan untuk menerbangi rute nonstop menuju Belanda.[6]

Sejarah

Dekade 1940-1950-an: awal pendirian, perjuangan, dan menjadi maskapai nasional

 Pada tanggal 26 Januari 1949 dianggap sebagai hari jadi Garuda Indonesia, dimana maskapai bernama Indonesian Airways terbang dari Jogjakarta menuju Jakarta dengan pesawat yang bernama Seulawah atau Gunung Emas, yang diambil dari nama gunung terkenal di Aceh dana untuk membeli pesawat ini, didapatkan dari sumbangan rakyat Aceh, pesawat tersebut dibeli seharga 120.000 Dollar Malaya yang sama dengan 20 kg emas. Maskapai ini tetap mendukung Indonesia sampai revolusi terhadap Belanda berakhir, Garuda Indonesia mendapatkan konsesi monopoli penerbangan dari Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1950 dari KLM, perusahaan penerbangan nasional Belanda. Garuda pada awalnya adalah hasil joint venture antara Pemerintah Indonesia dengan maskapai Belanda, Koninklijke Luchtvaart Maatschappij (KLM). Pada awalnya, Pemerintah Indonesia memiliki 51% saham dan selama 10 tahun pertama, perusahaan ini dikelola oleh KLM, karena paksaan nasionalis KLM menjual sebagian dari sahamnya pada tahun 1953 ke pemerintah Indonesia dan pada waktu yang bersamaan, maskapai ini memiliki 46 pesawat. Tahun 1956, Garuda Indonesia meresmikan pelayanan penerbangan haji menuju Mekkah dengan Convair CV-340.
Pemerintah Burma menolong maskapai ini pada masa awal berdirinya, Oleh karena itu pada saat maskapai ini diresmikan sebagai perusahaan pada 31 Maret 1950, Garuda menyumbangkan sebuah pesawat DC-3 kepada Pemerintah Burma. Pada awal berdirinya, Garuda memiliki 27 pesawat terbang, staf terdidik, bandara dan jadwal penerbangan, sebagai kelanjutan dari KNILM, kesiapan Garuda Indonesia ini membuat mereka berbeda dengan maskapai pionir lainnya di Asia.

 Dekade 1960-1970-an: perkembangan signifikan dan berekspansi

 Dekade ini merupakan dekade pembangunan sekaligus kemajuan untuk Garuda. Pada tahun 1961, Garuda mendatangkan pesawat turboprop Lockheed L-188C Electra, ketiga pesawat baru itu masuk dinas aktif pada bulan Januari 1961 dan diberi nama "Pulau Bali", "Candi Borobudur" dan "Danau Toba", yang merupakan nama tujuan wisata Indonesia yang paling dikenal di luar negeri, tahun 1963, Garuda membuka rute penerbangan menuju Tokyo dengan pesawat L-188 dengan perhentian di Hongkong, rute ini kemudian dikenal dengan nama "Emerald Route". Garuda memasuki era jet pada tahun 1964 dengan datangnya tiga pesawat baru Convair 990A yang diberi nama "Majapahit", "Pajajaran" dan "Sriwijaya", yang merupakan nama kerajaan kuno di Indonesia dan menjadikan Garuda Indonesia maskapai pertama di Asia Tenggara yang mengoperasikan pesawat jet subsonik. Saat itu, jet bermesin empat Convair 990 merupakan pesawat berteknologi canggih dan memiliki kecepatan tertinggi dibandingkan pesawat-pesawat lain yang sejenis, seperti Boeing 707 dan Douglas DC-8. Dengan pesawat ini pula Garuda membuka penerbangan antarbenua dari Jakarta ke Amsterdam melewati Medan, Bombay, Beirut dan Roma. Pada tahun 1966, Garuda kembali memperkuat armada jetnya dengan mendatangkan sebuah pesawat jet baru, yaitu Douglas DC-8. Sementara, pada akhir tahun 1960-an, Garuda membeli sejumlah pesawat turboprop baru seperti, Fokker F27. Pesawat ini datang secara bertahap mulai tahun 1969 hingga 1970 dari hasil penjualan beberapa pesawat berbadan lebar untuk memenuhi pasar domestik yang terus berkembang.

Dekade 1970-1980-an: berkembang maju dan mendunia

 Dilanjutkan pada dekade 1970-1980-an. Wiweko Soepono Dirut Garuda Indonesia, melakukan program revitalisasi perusahaan yang mencakup perbaikan layanan, mengganti sistem manajemen, anti-KKN, memperbarui dan menambah armada serta menambah rute Domestik dan Internasional kemudian, beberapa pesawat di jual untuk menggarap pasar domestik dengan Fokker F-27 dan Fokker F-28 dan pada pertengahan 1970an, muncul dimana sebuah tren kenaikan jumlah penumpang yang naik pesawat dan tren tersebut tidak disia-siakan oleh Wiweko untuk membeli pesawat berbadan lebar dengan jarak jangkauan yang jauh dan penumpang yang banyak yaitu, Boeing B747-200 dan Douglas DC-10-30 yang di peruntukkan Garuda menerbangi rute baru di Benua Asia, Australia dan Eropa dan pada tahun 1982 Garuda Indonesia menjadi maskapai pengguna pertama Airbus A300B4-600 FFCC (Modifikasi kokpit dengan 2 awak).Memiliki inisiatif dan inovasi yang menarik di Garuda Indonesia, Wiweko yang menjabat menjadi Dirut selama 16 tahun berhasil membawa GIA menjadi maskapai terbesar ke 2 se Asia setelah Japan Airlines serta menjadi maskapai terbesar dan berpengaruh di belahan bumi bagian selatan.

Kemudian di tahun 1985, pimpinan GIA digantikan oleh R.A.J Lumenta. Kemudian, Ia melakukan re-branding terhadap maskapai dengan merubah nama dari Garuda Indonesian Airways menjadi Garuda Indonesia dan memindahkan pangkalan utama yang sebelumnya berada di Bandara Kemayoran dan Bandar Udara Halim Perdanakusuma dipindahkan ke Soekarno Hatta dan melakukan perbaikan sistem manajemen dan penambahan rute. Pada tahun 1985, Garuda Indonesia berhasil merintis penerbangan menuju Amerika Serikat dengan Douglas DC-10-30 bersama maskapai Continental Airlines dengan destinasi Los Angeles dan berhenti di Denpasar-Biak-Hawaii dengan menggunakan logo spesial gabungan dari Continental Airlines dan Garuda Indonesia.

  Dekade 1990-2000-an: kecelakaan beruntun, kesulitan ekonomi dan reputasi buruk

 Sepanjang dekade 1990-an, Garuda membeli 9 unit McDonnell-Douglas MD-11 (datang tahun 1991 sebagai pengganti DC-10), Boeing 737 seri -300 , -400, dan -500 (datang tahun 1992, sebagai DC-9), serta Boeing 747-400 (datang tahun 1994, 2 dibeli langsung dari Boeing, 1 dibeli dari Varig) dan Airbus A330-300 (datang tahun 1996, pembeli pertama). Tetapi, pada masa ini Garuda mengalami dua musibah besar yang terjadi di dua tempat, yang pertama di Fukuoka dan satunya lagi terjadi di desa Sibolangit, Sumatera Utara. Musibah yang kedua ini ini menewaskan seluruh penumpangnya, disamping itu, maskapai ini juga terkena imbas Krisis Finansial Asia yang juga membuat keuangan Indonesia menjadi lesu. Hal ini membuat Garuda harus memotong semua rute yang tidak menguntungkan, terutama rute jarak jauh menuju ke Eropa maupun Amerika (meski beberapa rute ke Eropa seperti Frankfurt, London dan Amsterdam sempat dibuka kembali, namun akhirnya kembali ditutup.). Disamping menutup rute jarak jauh yang tidak menguntungkan, maskapai ini juga mengembangkan rute domestik yang bisa membantu meningkatnya neraca keuangan.
Memasuki tahun 2000-an, maskapai ini membentuk anak perusahaan bernama Citilink yang menyediakan penerbangan berbiaya murah dari Surabaya ke kota-kota lain di Indonesia. Namun, Garuda masih saja bermasalah, selain menghadapi masalah keuangan, Beberapa peristiwa internasional (juga di Indonesia) juga memperburuk kinerja Garuda, seperti Serangan 11 September 2001, Bom Bali I dan Bom Bali II, wabah SARS, dan Bencana Tsunami Aceh 26 Desember 2004. Selain itu, Garuda juga menghadapi masalah keselamatan penerbangan, terutama setelah peristiwa Garuda Indonesia Penerbangan 200, akibat hal ini, Uni Eropa memberi surat larangan terbang ke Eropa bagi semua maskapai Indonesia. Namun, setelah perbaikan besar-besaran, tahun 2010 maskapai ini diperbolehkan kembali terbang ke Eropa, setelah misi inspeksi oleh tim pimpinan Frederico Grandini yang bertugas untuk memastikan segala kemungkinan yang ada untuk memulai pembukaan kembali rute dengan merekomendasikan pembukaan rute Jakarta - Amsterdam.[7]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar