Rabu, 05 November 2014

Kebiasaan unik warga Sumenep, tidur beralaskan pasir

Kebiasaan unik warga Sumenep, tidur beralaskan pasir 
Lazimnya tidur nyenyak bisa dilakukan di atas kasur dengan bantal, guling dan selimut yang hangat. Namun tidak bagi warga tiga desa di Sumenep, Madura, yang penduduknya memiliki kebiasaan tidur beralas pasir. Kamar yang sudah berlantai keramik justru sengaja dipenuhi pasir sebagai pengganti kasur untuk alas tidur.

Meski sering disebut dengan istilah kasur pasir, jangan pernah membayangkan tempat tidur ini akan menyerupai sebuah spring bed dengan pasir terbungkus di dalamnya. Pasir-pasir itu disebar dengan ketebalan yang tidak merata, sampai sekitar 30 cm di lantai kamar. Saat semua anggota keluarga beristirahat di kasur pasir, kulit dan pakaian mereka sudah pasti akan berlumuran pasir.

 

Ada tiga desa yang menjalankan kebiasaan ini, yang meliputi Desa Legung Timur, Legung Barat dan Dapenda, Kecamatan Batang-Batang. Ketiga desa ini telah menjalani kebiasaan itu secara turun-temurun. Setiap rumah umumnya memiliki satu kamar atau lebih dengan fasilitas kasur pasir, yang menurut mereka dapat menyejukkan sekaligus bisa menghangatkan.

"Saat musim hujan bisa menyejukkan, saat musim kemarau atau panas habis olahraga bisa menyejukkan, enak sekali," kata Edi Masyanto (28) warga Legung Barat kepada merdeka.com, Senin (3/11).

 

Kasur pasir tidak hanya ditemukan di dalam kamar. Di lingkungan keluarga yang lebih besar, yang terdiri dari beberapa kepala keluarga yang masih kerabat, mereka akan menjadikan halaman sebagai kasur pasir untuk fasilitas bersama. Semua anggota keluarga biasanya bercengkerama sambil menikmati makan dan minum di atas kasur itu.

Karena sudah biasa tidur di atas pasir, warga tak pernah merasa khawatir jika pasir itu akan masuk ke makanan, mata, atau lubang telinga. Mereka mengklaim bahwa jenis pasir yang mereka gunakan berbeda. Selain itu, mereka juga rajin mengganti pasir, khususnya saat pasir dirasa sudah terlalu kotor atau terkena air kencing bayi yang mengompol. Kalaupun menempel di tubuh, untuk menghilangkannya cukup dikibas-kibas dengan tangan.
Syamsul Arifin (32), warga Legung Barat, menuturkan bahwa pasir yang digunakan sebagai kasur bukan jenis pasir laut yang ada di bibir pantai. Jenis pasirnya lebih halus dan agak berat.

Pasir-pasir itu dibeli dari warga yang mengambil dari perkampungan yang agak dalam - yang jauh dari bibir pantai.

"Pasir diambil dari dalam tanah, jadi bukan pasir permukaan seperti yang di pantai. Dua rengking (wadah berbentuk kotak) biasanya dibeli Rp 5000, sudah diayak bersih," katanya.
Syamsul dan semua warga tidak mengetahui sejak kapan kebiasaan tidak lazim itu mulai dilakukan oleh para leluhur mereka. Tetapi, mereka merasa sudah menyatu dengan tradisi itu. Saat bepergian jauh, tidak jarang mereka juga membawa pasir untuk sekadar sebagai syarat mengikuti kebiasaan leluhur.

"Katanya kalau tidur tidak nyentuh tidak bisa tidur. Ada yang pergi ke Sukolilo untuk menjemput jamaah haji, membawa satu kresek untuk alas kaki saja. Nggak bisa tidur katanya," ungkapnya.

Bahkan, warga percaya kalau tidur di atas pasir bisa menyembuhkan banyak penyakit. "Memang kalau untuk penyakit kulit tak bisa, tidak bisa masuk kalau sering tidur di atas pasir. Kram atau pegal-pegal saat tidur itu juga sulit karena permukaan pasir mengikuti bentuk tubuh," katanya.

Selain penyakit fisik, warga juga percaya bahwa pasir bisa menyembuhkan penyakit mistis, seperti santet atau tenung. Mereka percaya bahwa seseorang yang tidur di atas pasir bisa kebal santet, karena kasur pasir bisa dijadikan penolak.

"Soalnya ini kan hampir rata dengan lantai, sedangkan kalau di ranjang kan agak tinggi. Kata orang pinter, santet itu kan menyerangnya setinggi lutut ke atas. Sedangkan pasir kan di bawah lutut mas. Ndak bisa masuk," tegasnya.

Menariknya, ada juga kebiasaan melahirkan di atas pasir. Tetapi sekarang, kebiasaan itu sudah punah dengan munculnya banyak bidan yang telah menggantikan peran dukun bayi. Seorang peneliti pernah datang ke desa ini untuk melihat praktik persalinan di atas pasir, namun sayangnya sekarang sudah tidak ditemukan lagi.

"Dokter spesialis kandungan datang ke sini ingin meneliti orang melahirkan di atas pasir. Katanya untuk belajar. Kalau dulu-dulu orang melahirkan memang di pasir. Dulu orang-orang tidak ke bidan, tapi ke dukun anak. Sekarang sudah tak ada lagi," terangnya"
[des]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar